SEJARAH

 Kerajaan kerajaan Pertama di Indonesia


1. Kerajaan Kutai di Kalimantan timur tahun 400 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Kudungga
Raja yang terkenal : Mulawarman
2. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat tahun 500 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Purnawarman
3. Kerajaan Kalingga di Jepara (Jawa Tengah) tahun 640 M (Kerajaan Budha)
Raja yang terkenal : Ratu Shima:
4. Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah tahun 732 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Sanjaya
Raja yang terkenal : Balitung
5. Kerajaan Sriwijaya di Palembang abad VII (Kerajaan Budha)
Raja yang pertama : Sri Jaya Naga
Raja yang terkenal : Bala Putra Dewa
6. Kerajaan Medang di Jawa Timur abad IX (Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Empu Sendok:
7. Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur tahun 1073 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama dan terkenal : Airlangga
8. Kerajaan Kediri di tepi Sungai Berantas Jawa Timur abad XII M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Jaya Warsa
Raja yang terkenal : Jaya Baya
9. Kerajaan Singasari di Jawa Timur tahun 1222 - 1292
Raja yang pertama : Sri Rajasa (Ken Arok)
Raja yang terkenal : Kertanegara (Joko Dolok)
10. Kerajaan Majapahit di Delta Brantas tahun 1293 - 1520 (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Raden Wijaya
Raja yang terkenal : Hayam Wuruk
Raja yang terakhir : Brawijaya (Kertabumi)
Patih yang terkenal : Gajah Mada
11. Kerajaan Pajajaran di Priangan (Jawa Barat) tahun 1333 (Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Sri Baduga Maharaja
Raja yang terakhir : Prabu Sedah
12. Kerajaan Demak di Jawa Tengah tahun 1513 - 1546 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Raden Patah (Sultan Bintoro)
Raja yang terakhir : Sultan Trenggono
13. Kerajaan Pajang di Surakarta tahun 1568 - 1586 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Joko Tingkir (Sultan Hadiwijoyo)
Raja yang terakhir : Ario Pangiri
14. Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede (Yogyakarta) abad XVI Masehi (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Suto Wijoyo (Panemabahan Senopati)
Raja yang terkenal : Sultan Agung
15. Kerajaan Banten di Jawa Barat tahun 1556 - 1580 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Hasanuddin
Raja yang terkenal : Sultan Ageng
Raja yang terakhir : Panembahan Yusuf

*  Kerajaan Kutai

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.[1][2] Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

Sejarah 

Yupa

Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

[sunting] Mulawarman

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

[sunting] Aswawarman

Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

[sunting] Berakhir

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

[sunting] Nama-Nama Raja Kutai

Peta Kecamatan Muara Kaman
  1. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
  2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
  3. Maharaja Mulawarman
  4. Maharaja Marawijaya Warman
  5. Maharaja Gajayana Warman
  6. Maharaja Tungga Warman
  7. Maharaja Jayanaga Warman
  8. Maharaja Nalasinga Warman
  9. Maharaja Nala Parana Tungga
  10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  11. Maharaja Indra Warman Dewa
  12. Maharaja Sangga Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Sri Langka Dewa
  15. Maharaja Guna Parana Dewa
  16. Maharaja Wijaya Warman
  17. Maharaja Sri Aji Dewa
  18. Maharaja Mulia Putera
  19. Maharaja Nala Pandita
  20. Maharaja Indra Paruta Dewa
  21. Maharaja Dharma Setia

[sunting] Lain-lain

Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu.Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sangsekerta.Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

 


* Kerajaan Tarumanegara


Kerajaan Tarumanegara Atau Taruma Adalah Sebuah Kerajaan Yang Pernah Berkuasa Di Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat Pada Abad Ke-4 Hingga Abad Ke-7 M, Yang Merupakan Salah Satu Kerajaan Tertua Di Nusantara Yang Diketahui. Dalam Catatan, Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Adalah Kerajaan Hindu Beraliran Wisnu. Kerajaan Tarumanegara Didirikan Oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman Pada Tahun 358, Yang Kemudian Digantikan Oleh Putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman Dipusarakan Di Tepi Kali Gomati, Sedangkan Putranya Di Tepi Kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman Adalah Raja Kerajaan Tarumanegara Yang Ketiga (395-434 M). Ia Membangun Ibukota Kerajaan Baru Pada Tahun 397 Yang Terletak Lebih Dekat Ke Pantai. Dinamainya Kota Itu Sundapura Pertama Kalinya Nama " Sunda " Digunakan. Pada Tahun 417 Ia Memerintahkan Penggalian Sungai Gomati Dan Candrabaga Sepanjang 6112 Tombak (Sekitar 11 Km). Selesai Penggalian, Sang Prabu Mengadakan Selamatan Dengan Menyedekahkan 1.000 Ekor Sapi Kepada Kaum Brahmana.

Prasasti Pasir Muara Yang Menyebutkan Peristiwa Pengembalian Pemerintahan Kepada Raja Sunda Itu Dibuat Tahun 536 M. Dalam Tahun Tersebut Yang Menjadi Penguasa Kerajaan Tarumanegara Adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Kerajaan Tarumanegara Ke-7. Pustaka Jawadwipa, Parwa I, Sarga 1 (Halaman 80 Dan 81) Memberikan Keterangan Bahwa Dalam Masa Pemerintahan Candrawarman (515-535 M), Ayah Suryawarman, Banyak Penguasa Daerah Yang Menerima Kembali Kekuasaan Pemerintahan Atas Daerahnya Sebagai Hadiah Atas Kesetiaannya Terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau Dari Segi Ini, Maka Suryawarman Melakukan Hal Yang Sama Sebagai Lanjutan Politik Ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat Yang Tersurat Dalam Prasasti Pasir Muara Mungkin Sekali Seorang Pejabat Tinggi Kerajaan Tarumanegara Yang Sebelumnya Menjadi Wakil Raja Sebagai Pimpinan Pemerintahan Di Daerah Tersebut. Yang Belum Jelas Adalah Mengapa Prasasti Mengenai Pengembalian Pemerintahan Kepada Raja Sunda Itu Terdapat Di Sana? Apakah Daerah Itu Merupakan Pusat Kerajaan Sunda Atau Hanya Sebuah Tempat Penting Yang Termasuk Kawasan Kerajaan Sunda? Baik Sumber-Sumber Prasasti Maupun Sumber-Sumber Cirebon Memberikan Keterangan Bahwa Purnawarman Berhasil Menundukkan Musuh-Musuhnya. Prasasti Munjul Di Pandeglang Menunjukkan Bahwa Wilayah Kekuasaannya Mencakup Pula Pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, Parwa II Sarga 3 (Halaman 159 - 162) Menyebutkan Bahwa Di Bawah Kekuasaan Purnawarman Terdapat 48 Raja Daerah Yang Membentang Dari Salakanagara Atau Rajatapura (Di Daerah Teluk Lada Pandeglang) Sampai Ke Purwalingga (Sekarang Purbolinggo) Di Jawa Tengah. Secara Tradisional Cipamali (Kali Brebes) Memang Dianggap Batas Kekuasaan Raja-Raja Penguasa Jawa Barat Pada Masa Silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Pasir Muara, Yang Memberitakan Raja Sunda Dalam Tahun 536 M, Merupakan Gejala Bahwa Ibukota Sundapura Telah Berubah Status Menjadi Sebuah Kerajaan Daerah. Hal Ini Berarti, Pusat Pemerintahan Kerajaan Tarumanegara Telah Bergeser Ke Tempat Lain. Contoh Serupa Dapat Dilihat Dari Kedudukaan Rajatapura Atau Salakanagara (Kota Perak), Yang Disebut Argyre Oleh Ptolemeus Dalam Tahun 150 M. Kota Ini Sampai Tahun 362 Menjadi Pusat Pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (Dari Dewawarman I - VIII). Ketika Pusat Pemerintahan Beralih Dari Rajatapura Ke Tarumanegara, Maka Salakanagara Berubah Status Menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman Pendiri Kerajaan Tarumanegara Adalah Menantu Raja Dewawarman VIII. Ia Sendiri Seorang Maharesi Dari Salankayana Di India Yang Mengungsi Ke Nusantara Karena Daerahnya Diserang Dan Ditaklukkan Maharaja Samudragupta Dari Kerajaan Magada.

Suryawarman Tidak Hanya Melanjutkan Kebijakan Politik Ayahnya Yang Memberikan Kepercayaan Lebih Banyak Kepada Raja Daerah Untuk Mengurus Pemerintahan Sendiri, Melainkan Juga Mengalihkan Perhatiannya Ke Daerah Bagian Timur. Dalam Tahun 526 M, Misalnya, Manikmaya, Menantu Suryawarman, Mendirikan Kerajaan Baru Di Kendan, Daerah Nagreg Antara Bandung Dan Limbangan, Garut. Putera Tokoh Manikmaya Ini Tinggal Bersama Kakeknya Di Ibukota Tarumangara Dan Kemudian Menjadi Panglima Angkatan Perang Kerajaan Tarumanegara. Perkembangan Daerah Timur Menjadi Lebih Berkembang Ketika Cicit Manikmaya Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.

Kerajaan Tarumanegara Sendiri Hanya Mengalami Masa Pemerintahan 12 Orang Raja. Pada Tahun 669, Linggawarman, Raja Kerajaan Tarumanegara Terakhir, Digantikan Menantunya, Tarusbawa. Linggawarman Sendiri Mempunyai Dua Orang Puteri, Yang Sulung Bernama Manasih Menjadi Istri Tarusbawa Dari Sunda Dan Yang Kedua Bernama Sobakancana Menjadi Isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa Pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara Otomatis, Tahta Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara Jatuh Kepada Menantunya Dari Putri Sulungnya, Yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara Berakhir Dengan Beralihnya Tahta Kepada Tarusbawa, Karena Tarusbawa Pribadi Lebih Menginginkan Untuk Kembali Ke Kerajaannya Sendiri, Yaitu Sunda Yang Sebelumnya Berada Dalam Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Atas Pengalihan Kekuasaan Ke Sunda Ini, Hanya Galuh Yang Tidak Sepakat Dan Memutuskan Untuk Berpisah Dari Sunda Yang Mewarisi Wilayah Kerajaan Tarumanegara.
Raja-Raja Kerajaan Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669

Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti Kebon Kopi, Dibuat Sekitar 400 M (H Kern 1917), Ditemukan Di Perkebunan Kopi Milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, Ditemukan Di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Sekarang Disimpan Di Museum Di Jakarta. Prasasti Tersebut Isinya Menerangkan Penggalian Sungai Candrabaga Oleh Rajadirajaguru Dan Penggalian Sungai Gomati Oleh Purnawarman Pada Tahun Ke-22 Masa Pemerintahannya.
3. Prasasti Munjul Atau Prasasti Cidanghiang, Ditemukan Di Aliran Sungai Cidanghiang Yang Mengalir Di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, Berisi Pujian Kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan Tempat Prasasti Itu Ditemukan Berbentuk Bukit Rendah Berpermukaan Datar Dan Diapit Tiga Batang Sungai: Cisadane, Cianten Dan Ciaruteun. Sampai Abad Ke-19, Tempat Itu Masih Dilaporkan Dengan Nama Pasir Muara. Dahulu Termasuk Bagian Tanah Swasta Ciampea. Sekarang Termasuk Wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara Tempat Prasasti Ciaruteun Dan Telapak Gajah Ditemukan, Dahulu Merupakan Sebuah " Kota Pelabuhan Sungai " Yang Bandarnya Terletak Di Tepi Pertemuan Cisadane Dengan Cianten. Sampai Abad Ke-19 Jalur Sungai Itu Masih Digunakan Untuk Angkutan Hasil Perkebunan Kopi. Sekarang Masih Digunakan Oleh Pedagang Bambu Untuk Mengangkut Barang Dagangannya Ke Daerah Hilir.

Prasasti Pada Zaman Ini Menggunakan Aksara Sunda Kuno, Yang Pada Awalnya Merupakan Perkembangan Dari Aksara Tipe Pallawa Lanjut, Yang Mengacu Pada Model Aksara Kamboja Dengan Beberapa Cirinya Yang Masih Melekat. Pada Zaman Ini, Aksara Tersebut Belum Mencapai Taraf Modifikasi Bentuk Khasnya Sebagaimana Yang Digunakan Naskah-Naskah (Lontar) Abad Ke-16. Prasasti Pasir Muara Di Bogor, Prasasti Ditemukan Di Pasir Muara, Di Tepi Sawah, Tidak Jauh Dari Prasasti Telapak Gajah Peninggalan Purnawarman. Prasasti Itu Kini Tak Berada Ditempat Asalnya. Dalam Prasasti Itu Dituliskan :
Ini Sabdakalanda Rakryan Juru Panga-Mbat I Kawihaji Panyca Pasagi Marsa-N Desa Barpulihkan **** Su-Nda
Terjemahannya Menurut Bosch:
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun, Prasasti Ciaruteun Ditemukan Pada Aliran Sungai Ciaruteun, Seratus Meter Dari Pertemuan Sungai Tersebut Dengan Sungai Cisadane; Namun Pada Tahun 1981 Diangkat Dan Diletakkan Di Dalam Cungkup. Prasasti Ini Peninggalan Purnawarman, Beraksara Palawa, Berbahasa Sansekerta. Isinya Adalah Puisi Empat Baris, Yang Berbunyi:
Vikkrantasyavanipateh Shrimatah Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam
Terjemahannya Menurut Vogel:
Kedua (Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Selain Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama " Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah, Prasasti Telapak Gajah Bergambar Sepasang Telapak Kaki Gajah Yang Diberi Keterangan Satu Baris Berbentuk Puisi Berbunyi:
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya:
Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.

Ukiran Bendera Dan Sepasang Lebah Itu Dengan Jelas Ditatahkan Pada Prasasti Ciaruteun Yang Telah Memancing Perdebatan Mengasyikkan Di Antara Para Ahli Sejarah Mengenai Makna Dan Nilai Perlambangannya. Ukiran Kepala Gajah Bermahkota Teratai Ini Oleh Para Ahli Diduga Sebagai " Huruf Ikal " Yang Masih Belum Terpecahkan Bacaaanya Sampai Sekarang. Demikian Pula Tentang Ukiran Sepasang Tanda Di Depan Telapak Kaki Ada Yang Menduganya Sebagai Lambang Laba-Laba, Matahari Kembar Atau Kombinasi Surya-Candra (Matahari Dan Bulan). Keterangan Pustaka Dari Cirebon Tentang Bendera Kerajaan Tarumanegara Dan Ukiran Sepasang " Bhramara " (Lebah) Sebagai Cap Pada Mahkota Purnawarman Dalam Segala " Kemudaan " Nilainya Sebagai Sumber Sejarah Harus Diakui Kecocokannya Dengan Lukisan Yang Terdapat Pada Prasasti Ciaruteum.

Di Daerah Bogor, Masih Ada Satu Lagi Prasasti Lainnya Yaitu Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Yang Terletak Di Puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada Bukit Ini Mengalir (Sungai) Cikasungka. Prasasti Inipun Berukiran Sepasang Telapak Kaki Dan Diberi Keterangan Berbentuk Puisi Dua Baris:
Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam - Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.
Terjemahannya Menurut Vogel:
Yang Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi Musuh-Musuhnya



Candi Prambanan
Candi Mendut
Candi Singosari
 

* Kerajaan Kalingga



Menurut Buku sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M) Mencatat Bahwa Pada Tahun 674 M Seorang Musafir Tionghoa Bernama I-Tsing Pernah Mengunjungi Negeri Holing Atau Kaling Atau Kalingga Yang Juga Disebut Jawa Atau Japa Dan Diyakini Berlokasi Di Keling, Kawasan Timur Jepara Sekarang Ini, Serta Dipimpin Oleh Seorang Raja Wanita Bernama Ratu Shima Yang Dikenal Sangat Tegas. Asal Nama Jepara Berasal Dari Perkataan Ujung Para, Ujung Mara Dan Jumpara Yang Kemudian Menjadi Jepara, Yang Berarti Sebuah Tempat Pemukiman Para Pedagang Yang Berniaga Ke Berbagai Daerah. Sedangkan Menurut Sebuah Catatan Portugis Bernama Tome Pires Dalam Bukunya suma Oriental, Jepara Baru Dikenal Pada Abad Ke-Xv (1470 M) Sebagai Bandar Perdagangan Yang Kecil Yang Baru Dihuni Oleh 90-100 Orang Dan Dipimpin Oleh Aryo Timur Dan Berada Dibawah Pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur Digantikan Oleh Putranya Yang Bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus Mencoba Untuk Membangun Jepara Menjadi Kota Niaga.

Pati Unus Dikenal Sangat Gigih Melawan Penjajahan Portugis Di Malaka Yang Menjadi Mata Rantai Perdagangan Nusantara. Setelah Pati Unus Wafat Digantikan Oleh Ipar Faletehan /Fatahillah Yang Berkuasa (1521-1536). Kemudian Pada Tahun 1536 Oleh Penguasa Demak Yaitu Sultan Trenggono, Jepara Diserahkan Kepada Anak Dan Menantunya Yaitu Ratu Retno Kencono Dan Pangeran Hadiri Suami. Namun Setelah Tewasnya Sultan Trenggono Dalam Ekspedisi Militer Di Panarukan Jawa Timur Pada Tahun 1546, Timbulnya Geger Perebutan Tahta Kerajaan Demak Yang Berakhir Dengan Tewasnya Pangeran Hadiri Oleh Aryo Penangsang Pada Tahun 1549. Kematian Orang-Orang Yang Dikasihi Membuat Ratu Retno Kencono Sangat Berduka Dan Meninggalkan Kehidupan Istana Untuk Bertapa Di Bukit Danaraja. Setelah Terbunuhnya Aryo Penangsang Oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono Bersedia Turun Dari Pertapaan Dan Dilantik Menjadi Penguasa Jepara Dengan Gelar Nimas Ratu Kalinyamat.

Pada Masa Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara Berkembang Pesat Menjadi Bandar Niaga Utama Di Pulau Jawa, Yang Melayani Eksport Import. Disamping Itu Juga Menjadi Pangkalan Angkatan Laut Yang Telah Dirintis Sejak Masa Kerajaan Demak. Sebagai Seorang Penguasa Jepara, Yang Gemah Ripah Loh Jinawi Karena Keberadaan Jepara Kala Itu Sebagai Bandar Niaga Yang Ramai, Ratu Kalinyamat Dikenal Mempunyai Jiwa Patriotisme Anti Penjajahan. Hal Ini Dibuktikan Dengan Pengiriman Armada Perangnya Ke Malaka Guna Menggempur Portugis Pada Tahun 1551 Dan Tahun 1574. Adalah Tidak Berlebihan Jika Orang Portugis Saat Itu Menyebut Sang Ratu Sebagai Rainha De Jepara Senora De Rica, Yang Artinya Raja Jepara Seorang Wanita Yang Sangat Berkuasa Dan Kaya Raya.

Serangan Sang Ratu Yang Gagah Berani Ini Melibatkan Hamper 40 Buah Kapal Yang Berisikan Lebih Kurang 5.000 Orang Prajurit. Namun Serangan Ini Gagal, Ketika Prajurit Kalinyamat Ini Melakukan Serangan Darat Dalam Upaya Mengepung Benteng Pertahanan Portugis Di Malaka, Tentara Portugis Dengan Persenjataan Lengkap Berhasil Mematahkan Kepungan Tentara Kalinyamat. Namun Semangat Patriotisme Sang Ratu Tidak Pernah Luntur Dan Gentar Menghadapi Penjajah Bangsa Portugis, Yang Di Abad 16 Itu Sedang Dalam Puncak Kejayaan Dan Diakui Sebagai Bangsa Pemberani Di Dunia. Dua Puluh Empat Tahun Kemudian Atau Tepatnya Oktober 1574, Sang Ratu Kalinyamat Mengirimkan Armada Militernya Yang Lebih Besar Di Malaka. Ekspedisi Militer Kedua Ini Melibatkan 300 Buah Kapal Diantaranya 80 Buah Kapal Jung Besar Berawak 15.000 Orang Prajurit Pilihan. Pengiriman Armada Militer Kedua Ini Di Pimpin Oleh Panglima Terpenting Dalam Kerajaan Yang Disebut Orang Portugis Sebagai Quilimo. Walaupun Akhirnya Perang Kedua Ini Yang Berlangsung Berbulan-Bulan Tentara Kalinyamat Juga Tidak Berhasil Mengusir Portugis Dari Malaka, Namun Telah Membuat Portugis Takut Dan Jera Berhadapan Dengan Raja Jepara Ini, Terbukti Dengan Bebasnya Pulau Jawa Dari Penjajahan Portugis Di Abad 16 Itu.

Sebagai Peninggalan Sejarah Dari Perang Besar Antara Jepara Dan Portugis, Sampai Sekarang Masih Terdapat Di Malaka Komplek Kuburan Yang Di Sebut Sebagai Makam Tentara Jawa. Selain Itu Tokoh Ratu Kalinyamat Ini Juga Sangat Berjasa Dalam Membudayakan Seni Ukir Yang Sekarang Ini Jadi Andalan Utama Ekonomi Jepara Yaitu Perpaduan Seni Ukir Majapahit Dengan Seni Ukir Patih Badarduwung Yang Berasal Dari Negeri Cina. Menurut Catatan Sejarah Ratu Kalinyamat Wafat Pada Tahun 1579 Dan Dimakamkan Di Desa Mantingan Jepara, Di Sebelah Makam Suaminya Pangeran Hadiri. Mengacu Pada Semua Aspek Positif Yang Telah Dibuktikan Oleh Ratu Kalinyamat Sehingga Jepara Menjadi Negeri Yang Makmur, Kuat Dan Mashur Maka Penetapan Hari Jadi Jepara Yang Mengambil Waktu Beliau Dinobatkan Sebagai Penguasa Jepara Atau Yang Bertepatan Dengan Tanggal 10 April 1549 Ini Telah Ditandai Dengan Candra Sengkala Trus Karya Tataning Bumi Atau Terus Bekerja Keras Membangun Daerah. Ratu Shima Atau Sima Adalah Nama Penguasa Kerajaan Kalingga, Yang Pernah Berdiri Pada Milenium Pertama Di Jawa. Tidak Banyak Diketahui Tentangnya, Kecuali Bahwa Ia Sangat Tegas Dalam Memimpin Dengan Memberlakukan Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri. Salah Satu Korbannya Adalah Puteranya Sendiri.

Kerajaan Kalingga, Sebuah Kerajaan Di Pantura (Pantai Utara Jawa, Sekarang Di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) Beratus Tahun Yang Lalu, Bersinar Terang Emas, Penuh Kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, Nan Ayu, Anggun, Perwira, Ketegasannya Semerbak Wangi Di Antero Nagari Nusantara. Sungguh, Meski Jargon Kesetaraan Gender Belum Jadi Wacana Saat Itu. Namun Pamor Ratu Shima Memimpin Kerajaannya Luar Biasa, Amat Dicintai Jelata, Wong Cilik Sampai Lingkaran Elit Kekuasaan. Kebijakannya Mewangi Kesturi, Membuat Gentar Para Perompak Laut. Alkisah Tak Ada Kerajaan Yang Berani Berhadap Muka Dengan Kerajaan Kalingga, Apalagi Menantang Ratu Shima Nan Perkasa. Bak Srikandi, Sang Ratu Panah. Konon, Ratu Shima, Justru Amat Resah Dengan Kepatuhan Rakyat, Kenapa Wong Cilik Juga Para Pejabat Mahapatih, Patih, Mahamenteri, Dan Menteri, Hulubalang, Jagabaya,Jagatirta, Ulu-Ulu, Pun Segenap Pimpinan Divisi Kerajaan Sampai Tukang Istal Kuda, Alias Pengganti Tapal Kuda, Kuda-Kuda Tunggang Kesayangannya, Tak Ada Yang Berani Menentang Sabda Pandita Ratunya.

Sekali Waktu, Ratu Shima Menguji Kesetiaan Lingkaran Elitnya Dengan Menukarkan Posisi Pejabat Penting Di Lingkungan Istana. Namun Puluhan Pejabat Yang Digantikan Ditempat Yang Tak Diharap, Maupun Yang Dipensiunkan, Tak Ada Yang Mengeluh Barang Sepatah Kata. Semua Bersyukur, Kebijakan Ratu Shima Sebetapapun Memojokkannya, Dianggap Memberi Barokah, Titah Titisan Sang Hyang Maha Wenang. Tak Puas Dengan Sikap Setia Lingkaran Dalamnya, Ratu Shima, Sekali Lagi Menguji Kesetiaan Wong Cilik, Pemilik Sah Kerajaan Kalingga Dengan Menghamparkan Emas Permata, Perhiasan Yang Tak Ternilai Harganya Di Perempatan Alun-Alun Dekat Istana Tanpa Penjagaan Sama Sekali. Kata Ratu Shima, segala Macam Perhiasan Persembahan Bagi Dewata Agung Ini Jangan Ada Yang Berani Mencuri, Siapa Berani Mencuri Akan Memanggil Bala Kutuk Bagi Kerajaan Kalingga, Karenanya, Siapapun Pencuri Itu Akan Dipotong Tangannya Tanpa Ampun!. Sontak Wong Cilik Dan Lingkungan Elit Istana, Bergetar Hatinya, Mereka Benar-Benar Takut. Tak Ada Yang Berani Menjamah, Hingga Hari Ke 40.

Ratu Shima Sempat Bahagia. Namun Malang Tak Dapat Ditolak, Esok Harinya Putera Mahkotanya Berjalan-Jalan Dan anpa Sengaja Kakinya Menyentuh Perhiasan Itu. Amarah Menggejolak Di Hati Sang Penguasa Kalingga. Segera Dititahkan Memotong Kaki Sang Pangeran Yang Tidak Lain Adalah Anak Kandungnya Sendiri, Para Petinggi Kerajaan Memohon Agar Hukuman Itu Dibatalkan Karena Bukan Niatan Sang Pengeran Untuk Mencurinya, Selain Dari Tersentuh Oleh Kakinya, Namun Sang Ratu Tetap Berkeras, Walau Akhirnya Akibat Begitu Banyaknya Desakan, Bahkan Dari Rakyatnya Sendiri, Maka Hanya Jari Kaki Sang Pangeranlah Yang Dipotong. Seluruh Penghuni Istana Dan Rakyat Jelata Yang Berlutut Hingga Alun-Alun Merintih Memohon Ampun, Namun Sang Ratu Tiada Bergeming Dari Keputusannya. Hukuman Tetap Dilaksankana. Hal Itu Dituliskan Dengan Jelas Di Prasasti Kalingga, Yang Masih Bisa Dilihat Hingga Kini.

Holing ( Chopo ) Adalah Nama Lain Dari Kerajaan Kalingga Ibukota Kerajaan Kalingga Bernama Chopo ( Nama China ), Menurut Bukti- Bukti China Pada Abad 5 M. Mengenai Letak Kerajaan Kalingga Atau Holing Ini Secara Pastinya Belum Dapat Ditentukan. Ada Beberapa Argumen Mengenai Letak Kerajaan Ini, Ada Yang Menyebutkan Bahwa Negara Ini Terletak Di Semenanjung Malaya, Di Jawa Barat Dan Di Jawa Tengah. Tetapi Letak Yang Paling Mungkin Ada Di Daerah Antara Pekalongan Dan Plawanagan Di Jawa Tengah. Hal Ini Berdasarkan Catatan Perjalanan Dari Cina. Kerajaan Kalingga Atau Holing Adalah Kerajaan Yang Terpengaruh Oleh Ajaran Agama Budha. Sehingga Holing Menjadi Pusat Pendidikan Agama Budha. Kerajaan Kalingga Sendiri Memiliki Seorang Pendeta Yang Terkenal Bernama Janabadra. Sebagai Pusat Pendidikan Budha, Menyebabkan Seorang Pendeta Budha Dari Cina, Menuntut Ilmu Di Holing ( Kerajaan Kalingga ). Pendeta Itu Bernama Hou Ei- Ning Ke Holing, Ia Ke Kerajaan Kalingga Untuk Menerjemahkan Kitab Hinayana Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina Pada 664-665. Sistem Administrasi Kerajaan Ini Belum Diketahui Secara Pasti. Tapi Beberapa Bukti Menunjukkan Bahwa Pada Tahun 674-675, Kerajaan Ini Diperintah Oleh Seoarang Raja Wanita Yang Bernama Sima.

Di Kerajaan Kalingga Atau Holing Sendiri Banyak Ditemukan Barang-Barang Yang Bercirikan Kebudayaan Dong-Song Dan India. Hal Ini Menunjukkan Adanya Pola Jaringan Yang Sudah Terbentuk Antara Kerajaan Kalingga Atau Holing Dengan Bangsa Luar. Wilayah Perdaganganya Meliputi Laut China Selatan Sampai Pantai Utara Bali. Tetapi Perkembangan Selanjutnya Sistem Perdagangan Di Kerajaan Kalingga Atau Holing Mendapat Tantangan Dari Sriwijaya, Yang Pada Akhirnya Perdagangan Dikuasai Oleh Sriwijaya. Sehingga Sriwijaya Menjadi Kerajaan Yang Menguasai Perdagangan Pada Pertengahan Abad Ke-8. Kalingga Adalah Sebuah Kerajaan Bercorak Hindu Di Jawa Tengah, Yang Pusatnya Berada Di Daerah Kabupaten Jepara Sekarang. Kerajaan Kalingga Telah Ada Pada Abad Ke-6 Masehi Dan Keberadaannya Diketahui Dari Sumber-Sumber Tiongkok. Kerajaan Kalingga Pernah Diperintah Oleh Ratu Shima, Yang Dikenal Memiliki Peraturan Barang Siapa Yang Mencuri, Akan Dipotong Tangannya. Putri Ratu Shima, Parwati, Menikah Dengan Putera Mahkota Kerajaan Galuh Yang Bernama Mandiminyak, Yang Kemudian Menjadi Raja Ke 2 Dari Kerajaan Galuh.

Ratu Shima Memiliki Cucu Yang Bernama Sanaha Yang Menikah Dengan Raja Ke 3 Dari Kerajaan Galuh, Yaitu Bratasenawa. Sanaha Dan Bratasenawa Memiliki Anak Yang Bernama Sanjaya Yang Kelak Menjadi Raja Kerajaan Sunda Dan Kerajaan Galuh (723-732m). Setelah Ratu Shima Mangkat Di Tahun 732m, Sanjaya Menggantikan Buyutnya Dan Menjadi Raja Kerajaan Kalingga Utara Yang Kemudian Disebut Bumi Mataram, Dan Kemudian Mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya Di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan Di Jawa Barat Diserahkannya Kepada Putranya Dari Tejakencana, Yaitu Tamperan Barmawijaya Alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya Menikahi Sudiwara Puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan Atau Bumi Sambara, Dan Memiliki Putra Yaitu Rakai Panangkaran.

* Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan serayu, gunung prau, gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu, gunung merapi, pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul. Daerah ini juga  banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam). Kerajaan Mataram merupakan daerah yang subur yang memudahkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang  cukup pesat dan merupakan kekuatan utama bagi Negara darat..
Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.

A.   Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)
  1. Sejarah dan Lokasi
Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus  Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.  Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.
Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M. Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
 
  1. Sumber Sejarah
      Prasasti Canggal
Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.

Prasasti Metyasih/Balitung
Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M.  Prasasti Metyasih yang diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.
 
  1. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya
Dari prasasti Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah berkuasa, yaitu :
 1.            Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat.
Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja.
Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna, yaitu :
·        Tresna (Cinta Kasih)
·        Gumbira (Bahagia)
·        Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
·        Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman) 
Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.

2.            Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia  adalah :
·        Kasuran (Kesaktian)
·        Kagunan (Kepandaian)
·        Kabegjan (Kekayaan)
·        Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
·        Kasinggihan (Keluhuran)
·        Kasyuwan (Panjang Umur)
·        Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.

3.            Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini “Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur Guru terdiri dari :
·        Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
·        Guru Swadaya, Tuhan
·        Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah 
·        Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran  hukum dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.